Lebaran Kali Ini, Bulan Masih di Atas Kuburan (Wawancara Imajinatif dengan Sitor Situmorang)

‘Bulan di Atas Kuburan’ itulah isi puisi Sitor Situmorang yang berjudul ‘Malam Lebaran’ yang selalu saja aktual di benak kita kala menghampiri sebuah malam di akhir ramadan. Sajak lawas gubahan mantan ketua Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) ini kira-kira ingin mengabarkan realitas lain yang tak terjamah atau bahkan kita lupa di malam lebaran. Sebuah malam yang sejatinya tak ada bulan yang nampak. Tapi, Sitor Situmorang memberikan teror. Menantang logika kita untuk melihat bulan di atas kuburan. Bulan apakah yang dimaksud, dan mengapa mesti berada di atas simbol terakhir jejak manusia di bumi. Kuburan.

Sederhananya mungkin, ketika sebagian masyarakat bergembira menyambut malam lebaran. Sebagian lagi malah tak cukup tawa untuk perayaan tahunan itu. Karena kegetiran hidup yang tebal. Tak cukup kuasa mengepulkan dapur mematangkan peganan yang nantinya dihidangkan di hari lebaran, atau tak mendapat tiket masuk berbelanja di Mal super mewah untuk memilih pakaian sesuka hati. Tapi hal ini bisa jadi hanya sebagian kecil dari bayangan realitas dalam puisi Sitor Situmorang tersebut.

Kita pun bisa mengembangkannya lebih jauh berdasarkan realitas yang kita jejali hari ini. Sekaligus mengajukan tanya kepada Sitor Situmorang. Rembulan dalam puisi itu adalah simbol cahaya redup yang tak cukup menerangi dengan seksama semua realitas yang ditimpalinya, ada pola kehidupan yang berjalan rutin, namun sakit. Sesakit dengan entitas manusia yang berkutat di dalamnya. Realitas inilah yang seringkali disebut dalam kitab suci untuk dilirik, bahkan diperhatikan sesering mungkin. Kita bahkan bisa menduganya, kalau kosa kata inilah: ‘Kemiskinan’,  yang selalu didendangkan sebulan penuh dalam khotba di masjid. Bahwa garis itu masih tegas membentang di pelupuk mata kita. 

***

Jika ada tanya yang yang mesti diajukan kepada Sitor Situmorang. Kira-kira bisa dimulai dengan asumsi. Kalau bukankah ada zakat di hari-hari terakhir ramadan. Hari ini bahkan lebih lebih berkembang lagi, ada THRK (Tunjangan Hari Raya Keagamaan), dan pembagian sembako, bahkan sudah ada transportasi mudik gratis bagi mereka yang ingin pulang di kampung halaman. Lantas, Masihkah kuburan terus terngiang di benak kita. Ataukah kuburan itu memang sudah terbangun dengan kuat. Sehingga tak ada lagi takdir yang mampu mengubahnya? Mendengar ini, Sitor Situmorang mencoba memperbaiki letak duduknya. Lalu mulai menanggapi.

“Tentu saja bisa diubah. Tapi jika melihat sistem sosial hari ini. Hal yang demikian tentunya akan bertahan lama. Tadinya, ketika saya tuliskan puisi itu, realitasnya tak separah hari ini. Tapi waktu menunjukkan perkembangan lain.”

Lalu bagaimana dengan peranan zakat, pembagian sembako, dan bentuk-bentuk derma lainnya?

“Ya, saya kira itu baik, dan sudah menjadi kewajiban bagi mereka yang memiliki kuasa untuk berbagi. Puisi malam lebaran itu saya kira bentuk kegelisahan sosial yang selalu saja berulang. Bahkan di malam lebaran sekalipun.”

Kita tahu betul, kalau malam lebaran tak ada lagi bulan di langit. Tapi anda tak memperdulikan itu?

“Sebagai karya sastra, penulisan puisi tentu dibolehkan menggunakan sebuah metafora, bukan untuk memperhalus atau menyembunyikan realitas. Tapi itu sebagai bentuk pengungkapan makna realitas agar lebih menggigit. Maksudnya, supaya mengundang tanya bagi pembacanya. Keberhasilan sebuah karya, salah satunya saya kira ketika karya itu mengundang lebih banyak pertanyaan. Berarti ada kegelisahan untuk mengetahuinya lebih jelas lagi. Maka dengan demikian akan terjadi lebih banyak pengungkapan dari hal-hal yang belum terpahami.”

Apakah puisi ini mampu mengubah pandangan seseorang untuk tergerak merombak rutinitas realitas yang memahitkan ini. Apalagi di malam-malam lebaran?

“Sebagai penulis saya kira sudah cukup menyampaikan pesan. Puisi ini juga sangat sederhana, lebih tepat disebut sebagai umpatan pembicaraan sehari-hari. Sepintas, tak bisa dipetakan yang mana judul dan isi. Melafazakannya pun hanya sekali tanpa perlu bersusah payah menarik napas panjang. MALAM LEBARAN, BULAN DI ATAS KUBURAN. Sudah. Intinya sekali lagi, ada pada misi yang hendak disampaikan. Kalau malam lebaran yang setiap tahun diulang itu ternyata juga indah direkam ke dalam sajak. Jika penekanan pertanyaannya ada pada mengubah pandangan seseorang. Saya kira, itu ia. Pembaca yang sempat membaca sajak pendek ini. tentunya memiliki pertanyaan yang sama dengan dengan pembaca lainnya. Yakni, akan bertanya. Apakah bulan muncul di malam lebaran? Setelah itu, ia akan bertanya lebih jauh lagi. Nah, pada wilayah itulah saya kira sudah bisa disebut sebagai mengubah pandangan seseorang. Siapa pun dan dari generasi mana pun.” 

Apakah sesederhana itu? Tersimpan di masing-masing di benak pembacanya saja. Kita tahu, lebaran kali ini bulan itu masih terbayang jelas di atas kuburan. Parahnya lagi, pihak yang seharusnya memiliki tanggung jawab dalam konstitusi untuk mengubah realitas ini. Malah disibukkan dengan teka-teki untuk menjawab munculnya bulan di awal ramadan dan menetapkan akhir ramadan. Dari informasi yang beredar, dana yang digunakan untuk melakukan sidang penetepan ini. Sungguh luar biasa banyak. Jika sekiranya dana itu disisihkan untuk menghapus bayangan kuburan di malam lebaran, apakah itu tidak lebih baik?

Sitor Situmorang tertawa kecil dan mendehem keras. “Ya, itulah masalah di zaman kalian, dan kalianlah yang sepenuhnya punya hak untuk terus mengganggu pemerintah agar tidak lelap. Dahulu ketika puisi ‘Malam Lebaran’ itu saya tulis. Perdebatan teknis perihal penetapan awal dan akhir ramadan tak begitu mengemuka. Tapi jika kalian menjumpai hal demikian, saya kira itu gejala dari menguatnya masyarakat sipil. Tentu ada banyak organisasi kemasyarakatan yang berkembang. Tapi lebih bagus saya kira kalau ormas-ormas itu bekerja secara subtantif saja dalam menjawab realitas masyarakat. Dan secara konstitusi, pemerintah (negara) memang diwajibkan untuk mensejahterakan rakyat. Hal itu sudah menjadi kontrak sosial. Tapi jika lebaran kali ini, anda masih mendapati bulan di atas kuburan.” Sitor Situmorang tertawa lagi sebelum melanjutkan. “Jauh hari saya sudah menduganya.”

***

Suara takbir dari masjid melengking jauh di langit. Sangat tinggi dan tak terjangkau lagi. Sitor Situmorang pun telah memberikan gelagat untuk tidak diwawancarai lagi. Saya lalu memilih pamit dan mengucap selamat hari raya. Ia tak menjawab, hanya mengangguk. Kedua matanya tertuju pada buku kecil bersampul hijau. Rupanya ia sedang mengeja kembali puisinya yang melegenda itu. 

Malam Lebaran

Bulan di Atas Kuburan
_



Komentar

Postingan Populer