Puisi dan Demokrasi

Puisi itu resitensi atas demokrasi yang miskin makna, sejak awal kelahirannya pun demokrasi bukanlah tanpa perdebatan. Sejarah lain yang mengawasi praktik tata kelola yang mengurusi hajat orang banyak di Yunani kuno, ialah secarik puisi.

Syahdan, jauh sebelum demokrasi menggema. Hesodius, seorang petani juga penyair melalui puisinya membongkar aib dan menyerang kaum elite kala itu. Di antara gubahannya, lahir sebuah puisi ‘Kerja dan Hari’ yang kelak diakui sebagai puisi protes sosial politik pertama yang pernah ada di muka bumi ini. ‘Tak ada kerja yang aib, kemalasanlah suatu kehinaan’. Kalimat sederhana inilah yang di tulisnya untuk membela para petani yang diisap oleh pemilik modal. Melalui ini pula, Hesodius berseberangan dengan Homerus. Seorang pujangga ningrat. (IF Stone: 1991)

Di ruang lain, pejuang yang terlupakan, Tan Malaka. Dalam pergulatan intelektualnya tegas menolak praktik trias politika dengan kekhawatiran yang kelak membuka lebarnya kesempatan bagi eksekutif bermain mata dengan legislatif dan yudikatif. Ramalannya itu kini teraktualkan dalam praktik tata pemerintahan di depan mata kita. Kesempatan luas dan pilihan langsung memang menjadi opsi masyarakat luas untuk menentukan pilihan untuk berada di eksekuitf dan di legislative. Tetapi pilihan itu telah ditentukan. Siapa yang menentukan? Tentu saja partai politik.

Sebagaimana selanjutnya, demokrasi terus didengunkan sebagai alternatif sistem bagi semua golongan. Semua negara seakan tak mau lari dari demokrasi untuk menunjukkan kesepakatan atas teriakan penuntut keadilan. Sekaligus juga menyembunyikan demokrasi di bilik kekuasaan dan mengubah makna di atas tumpukan regulasi yang terus diproduksi di ruang legislatif.

Lalu siapa yang mengawasi itu semua? Manusia memerlukan instrumen, maka terbentuklah lembaga sebagai media untuk berhubungan dengan sistem yang berjalan. Tetapi hal itu bukan tanpa celah. Karena lembaga itu lahir atas persayaratan yang sebelumnya sudah memiliki standarisasi yang tak boleh dimaknai ulang. Syaratnya sudah menjadi teks yang tertutup dan menolak tafisran lain. Di sana ada tata bahasa yang tak boleh dilanggar meski zaman tak memerlukannya lagi. Jika protes tetap menguat, maka ia menjadi catatan kaki sebagai pelanjut penjelasan yang sebenarnya tak pernah dihiraukan. Posisinya tetap di bawah sebagai pelengkap semata.
 
Suara lain

Protes ini lahir sudah lama, tetapi tak ada yang mendengarnya. Terbatas bukan karena akses, melainkan keengganan untuk membumikannya. Bisa juga karena ketakutan. Takut pada hal-hal yang sedang berkuasa, mungkin juga oleh sikap yang naif. Oktavio Paz, penyair asal Meksiko. Mengingatkan kalau puisi merupakan suara yang lain. Ia berbeda dengan kemauan dan menjaga jarak dengan sang pangeran. Tapi suara lain tersebut tentu pilihan, di luar system menolak seragam. Namun, apakah tetap berbeda jika sudah di dalam kamar pangeran? Entahlah, sejarah hanya mencatat sedikit nama-nama suara yang tetap lain itu.

Kekhawatiran akan demokrasi tak lain kecemasan akan suara yang seragam. Bagaimanapun juga, sang pangeranlah yang memegang kunci kamus untuk memberi tafsir. Dalam situasi kacau dan pangeran tetap diam. Maka Ia tak ingin mendengar suara yang lain. Ia masih menyimpan harapan terhadap suara-suara yang sudah beredar di orbit yang besar. Jika orbit itu tetap berputar dengan normal, itu artinya sang pangeran sedang menyimpan optimisme yang kuat. Begitulah jika pangeran sudah senang berbelanja di pasar yang ramai. Sikap ini sekaligus membuktikan kalau pangeran menolak suara yang lain.

Selanjutnya demokrasi yang pada mulanya juga merupakan suara yang lain tetap melenggang sebagai tata krama hasil bedah intelektual istana. Namun tetap terpahami sebagai jalan bersama. Tetapi pengguna jalan itu hanya bagian dari mereka yang telah memenuhi labelisasi sebuah regulasi. Bukan jalanan umum yang bebas diakses bagi siapapun.

Di tempat lain, puisi membangun jalannya sendiri. Ada yang setia di jalan berbecek yang tak akan tersentuh polesan aspal sampai kapanpun, ada pula yang memperoleh undangan khusus untuk melintas di jalan mulus nan bersih. Garis ini adalah pemisah kalau di seberang sana bukan kita dan sebaliknya.

Puisi mencari sisa hidup dengan ragam kesempatan di tempat mana Ia lahir dan dilahirkan. Dari mantra menjadi doa, dari sederhana menjadi pemuja, dan dari lantang menjadi lunak.
_


Komentar

Postingan Populer