Tertawa


“Cara tertawa merupakan indikator yang baik untuk menilai seseorang, dan menjadi tanda memiliki pribadi yang cukup baik”

-Fiodor  Dostoyevski_


Siapa dan apa yang mendominasi konstruksi gelak tawa kita sejauh ini? Mari simak petikan berikut ini:

‘Karl Marx merupakan pencetus gagasan komunisme yang dikenal luas setelah ia dan sahabatnya, Fredrich Engels memproklamirkan sebuah buku berjudul Manifesto Komunis. Idenya kemudian menginspirasi jutaan manusia yang kelak menjadi tokoh besar di negerinya masing-masing bahkan dunia. Sebut misalnya, Lenin dan Stalin di Rusia, Mao Tse Tung di China, Ho Chi Min di Vietnam, Tan Malaka di Indonesia, Antonio Gramsci di Italia, Che Guevara dan Fidel Castro di Kuba, serta tokoh-tokoh dan pemikir Marxis lainnya. Berkat gagasan komunismelah sehingga tokoh tersebut dikenang. Namun, tahukah kita kalau di akhir hayat Karl Marx, hanya tiga orang yang menghadiri pemakamannya’

Setelah membaca petikan di atas, siapakah yang bakal tertawa. Paling tidak menyinggungkan senyum, tapi kalau ada pembaca yang merasa heran atau seolah tak percaya sebagai bentuk informasi baru akan potongan kisah si janggut lebat, Karl Marx. Hal itu wajar, karena sebelumnya saya pun kaget ketika seorang teman menceritakan sekitar enam tahun yang lalu.

“Bagaimana mungkin seorang yang mampu mempengaruhi banyak orang di dunia, hanya dihadiri tiga orang pada saat ia dimakamkan”. Kurang lebih begitu kalimatnya.

Saya lalu menyambungnya dengan mengingatkan tentang Tan Malaka, salah satu perintis negara ini yang terlupakan. Kalau Karl Marx masih bisa wafat dalam keadaan tenang meski hanya dihadiri tiga orang, itu jauh lebih baik dibanding penulis Madilog tersebut, yang sampai detik ini masih sumpang siur di mana nisannya.

Nah, yang terjadi dari sini, ialah sebuah dominasi keheranan dan keraguan, apakah sumber dari kisah yang diceritakan dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya. Tapi terlepas dari itu, petikan di atas mengandung unsur humor yang getir apabila ditelaah oleh mereka yang resisten dengan ide Karl Marx. Setidaknya akan tersenyum sebagai bukti rasa iba akan nasib penganjur komunisme tersebut.

Berikut ini petikan yang saya salin dari kisah Abu Nawas, namun beberapa kosa kata saya ubah dan pengayaan ditambahkan untuk membantu ke subtansi kisahnya tanpa mengurangi makna yang sesungguhnya.

‘Suatu ketika, Raja berkunjung ke sebuah pasar ditemani Abu Nawas. Tak lama kemudian mereka melalui jejeran para budak yang diperjual belikan dengan varian harga yang berbeda-beda. Ada yang dijual seharga satu juta, dua juta, dan yang tertinggi lima juta. Melihat itu, Raja lalu berkata kepada Abu Nawas. “Ya Abu Nawas, berapa kira-kira harga jual yang pantas jika yang dijejer di sana adalah saya.” Abu Nawas menjawab, “Wahai baginda Raja, jika anda yang dijejer di sana, maka harga yang pantas ialah lima rupiah saja.” Mendengar itu, Raja jelas naik pitam dan berkata. “Apa...! Harga baju yang saya kenakan ini saja seharga tujuh juta, bagaimana mungkin harga saya cuma lima rupiah!” Abu Nawas menjawab lagi, “Wahai baginda Raja, harga itu sudah pantas. Karena sesungguhnya anda ini tidak berharga lagi.”

Nah, siapa lagi yang akan tertawa usai membaca kisah di atas. Bagi yang tertawa dalam segala bentuknya. Itu menunjukkan kalau anda berada pada segmen humor yang serius.

Berangkat dari dunia yang seharusnya serius namun berbelok ke arah yang basi. Abu Nawas hidup di era pemerintahan Raja yang zalim dan tamak. Cerita ini tentulah merupakan miniatur dari realitas di mana kita bergelut. Pernyataan yang keliru yang dilontarkan seorang pemimpin apalagi memimpin sebuah negara pastinya akan mengarah pada sebuah kelucuan dari ketidaksanggupan mengolah komunikasi publik.

Sebagai contoh di dunia nyata, empat hari sebelum Ruyati (TKI yang dihukum pancung di Arab Saudi pada 2011). Presiden SBY tampil berpidato di ruang mewah pada forum PBB yang membahas masalah buruh se dunia. Dalam pidatonya yang menggunakan bahasa inggris, presiden menyebutkan kalau negara yang dinahkodainya paling peduli atas nasib buruh, utamanya buruh migran sebagai pahlawan devisa. Namun, itu berakhir sebagi bentuk humor, karena Ruyati tampil sebagai penegasi (penyangkalan) atas isi pidato sang presiden.
_

Tertawa memang hak segala bangsa dan tiap manusia. Bahkan adagium yang selalu ditampilkan di akhir film Warkop DKI, menyebutkan, tertawalah sebelum tertawa itu dilarang. Adakah rezim yang mengharamkan manusia itu untuk tertawa?

Syahdan, dalam cerita pendek yang terkenal ‘Matinya Seorang Buruh Kecil’ gubahan Anton Chekov. Diceritakan seorang buruh bernama Ivan Dmitrich Kreepikov, sedang menonton opera musik di sebuah gedung pertunjukan, ia kemudian bersin. Ya, cuma bersin yang juga merupakan hak setiap manusia, tapi semburan bersinnya itu mengenai wajah seorang jenderal. Karena merasa bersalah, ia lalu meminta maaf kepada sang jenderal.
Tampak sang jenderal tak begitu menghiraukannya dan meminta Ivan untuk duduk kembali karena konsentrasinya terganggu menonton opera.

Ivan, sang buruh serabutan tersebut kembali duduk memfokuskan perhatiannya, namun rasa penyesalan dan perasaan bersalah yang amat sangat bergelayut di pikirannya. Ia mulai cemas dan sepenuhnya sadar kalau apa yang baru saja dilakukannya sungguhlah suatu dosa yang amat besar melebihi dosa yang melanggar aturan Tuhan sekalipun. Singkat cerita ia pulang ke rumahnya, bajunya dibuka dan terbaring di sofa, lalu mati. Selesai.

Pembaca tentu mengira kalau cuplikan cerpen Anton Chekov di atas belum tuntas. Tapi percayalah, cerita itu berakhir begitu saja. Inti dari ceritanya memang seperti itu, buruh kecil tersebut diceritakan mati begitu saja. Sama sekali tak ada plot yang mengisahkan tindakan anak buah sang jenderal untuk menghabisi nyawanya, juga tidak ada seorang Sniper yang membidik jantung atau kepala si buruh kecil itu. Begitulah ciri khas Anton Chekov mengakhiri ceritanya yang kemudian dalam ilmu cerpen disebut “Chekovian” (mengakhiri cerita begitu saja).

Menelaah suatu karya (apa saja) tentunya kita harus lihat konteks pada alam di mana pengarang dan muatan karya itu lahir. Anton Chekov memang hidup pada situasi di negaranya, Rusia (saat itu masih Uni Soviet) yang begitu mengekang warga dalam segala hal. Makna cerpennya itu, kurang lebih hendak mengatakan kalau pola kehidupan warga kecil berada pada bayang-bayang dominasi kekuasaan yang tiran.

Kejelian Anton Chekov dengan menggunakan semburan bersin seorang buruh yang mengenai wajah sang jenderal adalah satire yang bisa meneror keheranan sekaligus menggelitik rasa humor kita dengan kalimat: pada negara fasis, bersinnya rakyat jelata pun bisa berakhir pada kematian yang mencemaskan.

Begitulah humor dengan kadar kepahitan, menjadi pelengkap dari keheranan kita atas yang lumrah menjadi tidak lumrah. Humor hendak menyingkap kalau pola tertawa kita merupakan suatu gugatan dari suatu penyimpangan yang sebenarnya hak setiap orang.
_


Komentar

Outbound di Malang mengatakan…
Kunci keberhasilan adalah menanamkan kebiasaan sepanjang hidup Anda untuk melakukan hal - hal yang Anda takuti.
tetap semangat tinggi untuk jalani hari ini ya gan ! ditunggu kunjungannya :D
Maithasa Syuhada mengatakan…
saya tertarik dengan cara penulisan kamu...
F. Daus AR mengatakan…
Maitgasa Syuhada,,trimah kasih telah nginap di kamar bawah...datang lagi,,,ddan lagi

Postingan Populer