Anak Haram Bernama Korupsi
Kira-kira
dimulai sejak rezim orba menemukan ajalnya di tahun 1998, maka isu korupsi
mencuat kepermukaan publik. Reformasi menyadarkan kita kalau dalam rumah tangga
orde baru telah tumbuh anak haram bernama korupsi. Sudah sejak lama kosa kata
korupsi ini terlewati begitu saja, meski kamus mendefinisikannya
sebagai tindakan penyelewengan uang negara.
Setahap
demi setahap negeri ini terus berjalan mencari titik kesempurnaannya untuk
menjadi sebuah negara yang betul-betul adil bagi seluruh rakyat yang bermukim
dalam wilayahnya. Segala hal telah dilakukan, mulai dari perbaikan sistem
politik, ekonomi, budaya, dan sebagainya. Lalu apakah kesemua itu telah
tercapai? Rasanya belum,
korupsi rupanya menjadi
momok yang menakutkan.
Merespon
itu, pemerintah membentuk badan khusus yang fokus untuk melawan tindakan
merugikan negara, lahirlah KPK sebagai sebuah lembaga
independen. Lalu apakah kinerja KPK sudah memenuhi tuntutan keadilan publik
yang sampai detik ini masih terus disuguhi sinetron korupsi para pejabat
negara? Jawaban bisa berbeda.
Melalui
catatan ini, saya tak perlu lagi mengulang tentang kasus
korupsi, dengan terbukanya dan semakin
beragamnya bentuk media saat ini memungkinkan pembaca (publik) lebih mengetahui
akan hal itu. Kalau tindakan korupsi bukan hanya terjadi di
pusat tapi juga di daerah. Ringkasnya, pemberitaan korupsi bukan
lagi sebagai berita yang selalu dinantikan.
Tapi sudah menjadi lumrah karena saking banyaknya, dan itu jelas menjenuhkan.
Sejarah
Korupsi
Sebenarnya muasal korupsi sudah berlangsung sejak zaman kerajaan,
praktik ini selalu ada jika budaya dalam suatu masyarakat tidak
bisa memberikan penegasan pembedaan antara yang mana milik pribadi dan mana
milik negara. Pada posisi seperti ini maka muara
korupsi selalu dimulai dari penguasa, karena padanyalah pengaburan akan
kepemilikan orang banyak dapat berlangsung. (Mochtar Lubis:
1972).
Praktik
kekuasaan di masa lampau menunjukkan kalau tanah yang luas dikuasai sepenuhnya
oleh raja. Lalu masyarakat yang memanfaatkan tanah tersebut untuk bercocok
tanam dan sebagainya diwajibkan untuk membayar upeti. Kerangka ini wajib adanya
bagi masyarakat bawah, meski mereka sering menggerutu akan situasi yang
dialami. Namun realitas ini mensahkan kalau yang demikian adalah sesuatu yang
wajar-wajar saja, karena nilai yang dibangun oleh pihak kerajaan diterima
sebagai hukum kebudayaan yang abstrak di tengah masyarakat. Meminjam analisis
Max Weber, hal ini di sebut sebagai kekuasaan patrimonial yang menjadi cikal
bakal praktik korupsi di era modern.
Tapi
kompleksitas tindakan korupsi hari ini jauh berkembang melampaui asal muasalnya
sendiri. Meski sudah ada perubahan sistem politik dengan pendekatan yang lebih
demokratis, disebut demikian karena setidaknya pelibatan masyarakat dalam
menentukan pemimpin sudah diakomodasi. Sangat jauh berbeda dengan praktik di
masa lampau yang mana pemimpin hanya turun temurun.
Jadi
jangkauan luas praktik korupsi bukan lagi mentok di dalam istana, tapi
sudah mewabah ke tangan kekuasaan lainnya. Potensi ini
mungkin tak terpahami sebelumnya karena menganggap konsep perimbangan kekuasaan
(trias politika) dalam mengurus negara dapat memberikan kontrol terhadap eksekutif,
namun idealisasi ini justru menjadi bumerang bagi negara itu sendiri. Siapa
yang mengontrol siapa jika lowongan untuk berbuat curang sama-sama ada di depan
mata.
Kegagalan Sistem
Lemahnya
negara tak bisa dilepaskan dari praktik keputusan di masa lalu. Keputusan kala
menyepakati hubungan kerja dengan IMF dan Bank Dunia. Imbasnya, negara
tak lebih sebagai pelengkap administrasi yang meloloskan sejumlah praktik neoliberalisme yang salah satunya
ditandai dengan lahirnya korporasi perusahaan internasional yang
menggerogoti kekayaan alam.
Tindakan ini harus dibayar mahal dengan mengubah peran,
sifat, dan fungsi negara sebagai pelindung masyarakat. Itulah makanya,
negara harus berada pada posisi netral yang cukup
mengurus kesiapan administrasi dan aturan main yang jelas (regulasi).
Turunanannya kemudian memunculkan gagasan good
governance sebagai kata halus dari
pengamputasian peran negara. Metode kerja neoliberalisme memang mensyaratkan demikian
agar praktik pasar bebas dapat berjalan lancar tanpa
campur tangan negara. Nah, ceruk inilah yang menjadi lahan guna melegalkan
perilaku korupsi. Karena tentu terjadi transaksi dalam meloloskan regulasi, celah
lainnya tentu terjadi pada loby dalam pemberia izin usaha bagi para perusahaan
transnasional.
Krisis
kapitalisme pada medio 1930 melahirkan keputusan untuk melakukan
pasar bebas dan memberlakukannya sebagai bentuk kebijakan bagi negara-negara
yang sedang berkembang dengan pendekatan develomentalisme sebagai model dari
kerangka kerja ini. Lalu negeri ini pun menjadi ajang coba-coba yang cerita
akhirnya menjumpai krisis moneter tahun 1998.
Kegagalan
kerja sistem ini kemudian mengkambinghitamkan perilaku korupsi
sebagai biangnya. Sehingga fokus kerja bukan untuk mengevaluasi dari kegagapan
dalam menerapkan impor produk sistem, sebaliknya energi terkuras habis untuk
membincangkan isu korupsi yang sesungguhnya tumbuh subur akibat dari penerapan
sistem tersebut.
Ulrich
Beck dan Edgar Grande (2007) menyebutkan kalau era negara purba yang sekadar
merawat integritas teritorial dan kedaulatannya telah dipaksa oleh globalisasi
dengan kecenderungan regionalismenya untuk terlibat ke dalam
transnasionalisasi. Makanya lahirlah
perkumpulan negara-negara seperti G-20 untuk membahas isu internasional. Patut
diingat kalau kerja sama yang terbangun dalam membahas isu yang sudah lahir, negara
kecil selalu menjadi pekerja dan berada pada posisi yang terjebak dan
tentu saja sebagai korban.
Dampak
buruk dari kerja sama pengelolaan isu yang sudah
mengalami transnasionalisasi, dapat
dilihat dari mencuatnya isu climate
change. Indonesia dicap sebagai negara yang paling rajin menggunduli hutannya
dan diminta untuk melakukan perbaika. Sehingga mencuatlah
isu green (penghijauan). Padahal
hutan yang gundul di indonesia tentu tak lepas dari praktik perusahaan
internasional (TNCs) untuk memenuhi kebutuhan produksi negara besar, tapi negara
kecillah yang dituntut untuk melakukan
perbaikan.
_
Dimuat di Koran Sindo Makassar, 12 April 2013
Komentar