Mengagas Kurikulum Berbasis Kebudayaan di Pangkep

Pada umumnya teori pendidikan yang diadopsi dewasa ini bukanlah yang berakar pada kultur masyarakat, karena konsep pendidikan modern merupakan penghapus terhadap pola hidup dan tingkah laku masyarakat yang sudah berakar sejak dulu.

Bincang-bincang yang tidak sengaja dengan salah seorang kerabat yang mengajar di salah satu sekolah dasar di daerah pegunungan Pangkep, mengatakan kalau tingkah laku muridnya sangat susah untuk diatur dan menganggap rendah cita-citanya yang hanya bangga untuk menjadi seorang petani. Artinya bahwa, ada kesenjangan pahaman dari guru yang selama ini dididik dari konsep pendidikan modern. Setelah menjadi guru, maka konsep yang moderen itu pun hendak ia terapkan pada tempatnya mengajar.

Kita tahu bahwa budaya suatu komunitas tidaklah lahir dalam sekejap saja, tapi hal itu lahir dari hasil persinggungan dengan lingkungan, alam, dan Tuhan (baca: kosmologis) Masyarakat yang hidup di suatu wilayah dengan segala konsep hidupnya yang mungkin saja berbeda dengan komunitas lainnya, mestilah dihargai. Karena ketika anak-anak mereka bersekolah lalu menemukan sejumlah hal-hal baru yang selama ini mereka tidak temukan di lingkungan mereka. Maka tentunya hal itu dianggap sebagai sebuah sampingan saja.

Maksudnya, hal-hal yang mereka dapatkan dari sekolah belum bisa ia terka untuk kehidupan sehari-harinya. Karena kenyataan yang dijumpai dalam dunia belajar di sekolah, mereka tidak menemukannya dalam dunia belajar di lingkungannya. Orang tua mereka yang hanya bertani agar bisa bertahan hidup, menjadi sebuah teladan dibanding kegiatannya di sekolah yang hanya duduk, mencatat, dan mendengarkan guru-guru mereka berbicara.

Sekali lagi, dalam dunia sekolah, mereka tidak menemukan pengalaman bersama yang nyata dalam kebutuhan hidup mereka. Hingga jika mereka ditanya akan cita-citanya, maka dengan bangga mereka pasti menjawab akan menjadi seorang petani saja. Karena tindakan seorang petani merupakan tindakan nyata dalam mempertahankan hidup. Dan hal itu wajar serta patut dihargai. Semua mesti diapresiasi dengan proporsional karena dunia anak-anak adalah dunia dimana mereka akan menerka segala kemungkinan untuk menjawab mimpinya.
_

Di dataran China, ada sebuah cerita yang begitu melegenda tentang seorang kakek tua yang ingin memindahkan sebuah gunung besar. Hal itu menjadi tertawaan bagi sebagian orang yang tak kunjung memahami logika sang kakek tua itu. Padahal, alasan filosofis sang kakek tua mustahil untuk dibantahkan. Karena gunung besar itu tentu tidak tumbuh menjadi semakin besar, dan jika tiap hari batunya dipindahkan maka gunung itu tentulah akan habis.

Jadi impianlah yang menggerakkan peradaban umat manusia sampai hari ini.  Anak gunung yang bercita-cita ingin jadi seorang petani itu tentulah selangkah lebih revolusioner dibanding sebagian anak sebayanya.

Dalam kajian yang tidak “ilmiah” dalam dunia pendidikan baik secara nasional maupun lokalitas di Kabuapten Pangkep ini, menyimpulkan kalau bangunan gedung yang mewah hanyalah seperangkat alat saja. Subtansi yang harus dibangun dalam benak anak didik dalam semua tingkatan pendidikan, adalah pengenalannya dengan sejarah lingkungan di mana ia pernah lahir, bertumbuh, dan berkembang. Namun hal itu dikebiri dalam kurikulum nasional yang disamaratakan di seluruh wilayah indonesia. Mulai dari tata cara belajar membaca hingga kekerasan ingatan dalam pelajaran sejarah.

Kita hampir tidak pernah tahu sejarah lokal di Kabupaten Pangkep yang kita huni ini, yang kita tahu hanyalah. Kapan lagi pilkada akan digelar, dan yang kita tahu kalau di televisi ada sejumlah sinetron.

Anak sekolah hanya tahu kalau jadwal sekolah dimulai pada hari senin sampai hari sabtu, kemudian mereka harus memakai seragam dan mengikuti upacara bendera tiap hari senin, sekaligus mereka tak pernah tahu kalau dari mana orang tua mereka memperoleh uang untuk uang jajan dan ongkos serta untuk membeli buku pelajaran. Mereka tahu kalau ada PR (pekerjaan rumah) maka harus dikerjakan, tapi sekaligus mereka tak pernah tahu apa fungsi sosial dari pengerjaan PR itu, apakah berguna dan bisa menjawab tantangan hidup mereka nanti bila sudah selesai.

Anak-anak SD di Kabupaten Pangkep ini jauh lebih tahu nama-nama tokoh dalam serial kartun Naruto dibanding nama pahlawan lokal yang pernah membangun kota Pangkep. Kemudian dari pelajaran sejarah mereka tahu kalau Sultan Hasanuddin itu merupakan tokoh protagonis dan Arung Palakka merupakan tokoh antagonisnya. Hal ini tak terkecuali bagi pelajar SMP dan SMU di kota yang dikenal dengan tiga dimensinya ini. Mereka harus mengingat nama Gajah Mada bila menjelang ulangan, dan mereka tak perlu mengingat kalau di Pangkep ini pernah ada kerajaan Siang yang disebut-sebut sebagai kerajaan terbesar di bagian barat pesisir Sulawesi (Pelras: 1986). Atau mereka tak perlu tahu kalau di Pangkep ini pernah hidup penghulu Puang Matoa Bissu Saidi yang telah berkeliling dunia mengawal pementasan La Galigo.

Sangat diperlukan kesadaran bersama untuk menerapkan kurikulum berbasis lokal di Kabupaten Pangkep ini, utamanya pemerintah dan semua pihak tanpa terkecuali. Bahwa meng-Pangkep-kan kembali masyarakat Pangkep memanglah tidak semudah dengan ketangkasan tangan para pesulap di acara The Master itu. Tapi paling tidak kita sudah menanamkan impian akan hal itu.

Kekhawatirannya tidak main-main, bila kemudian anak-anak zaman di Pangkep ini betul-betul lupa akan sejarah lokal, maka sejarah baru hasil rancangan globalisasi akan mengubah sepenuhnya. Manusia yang berdialektika di Kabupaten ini akan terasing dengan sendirinya, sangat disayangkan jika pengenalan akan sejumlah potensi budaya di daerah ini tidak diperkenalkan kepada siswa-siswa sejak dini. Kita tahu bahwa pangkep memiliki kawasan Karst terbaik kedua setelah China yang wilayahnya mencakup empat ribu hektar ditambah warisan kebudayaan lainnya.

Langkah sederhana bisa kita mulai pada diri sendiri, pada kerabat, pada saudara, pada sepupu, dan pada siapa saja. Sebelum merancang sebuah modul dalam rembuk bersama pemerintah dan jajaran yang terkait, Legislatif, LSM, Tokoh Masyarakat, Guru dan Dosen, serta masyarakat itu sendiri. Agar kemudian bisa diterapkan dalam kurikulum pendidikan berbasis lokal di Kabupaten Pangkep.
_

Dimuat di Fajar 28 November 2010



Komentar

F. Daus AR mengatakan…
Terimah kasih,,ayo menulis tentang pangkep,,saya akan berkunjung di blog kamu

Postingan Populer