Kami Difabel dan Bangga


Siapakah yang disebut ‘cacat’ dan yang disebut ‘normal’. Jika ikut dengan paham yang kebanyakan, maka yang disebut ‘cacat’ adalah mereka yang tidak memiliki syarat-syarat untuk disebut ‘normal’. Hal ini memang teramat sulit dalam menentukan kriteria dari kedua peneyebutan tersebut, karena terkadang yang menuntun kita dalam memberikan penyebutan adalah hasil kontruksi realitas yang diolah oleh pahaman kita (ideologi).


Terkait dengan hal tersebut, maka pelabelan yang kita arahkan kepada mereka yang tidak memiliki ciri-ciri fisik dan non fisik yang sama dengan yang ‘normal’ sebisa mungkin melahirkan penyebutan pembeda yang sifatnya destruktif. Sehingga, sudah sejak lama kita memberikan awalan kata ‘penyandang’ bagi mereka yang tidak ‘normal’, yang kemudian dikenal dengan sebutan ‘penyandang cacat’ (disable).

Hal ini tak jauh beda dengan bentuk-bentuk kebijakan negara yang selalu menomor duakan mereka yang disebut tidak ‘normal’. Secuil bentuk perhatian itu terakumulasi dalam Undang-undang nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak, yang mana salah satu muatannya menekankan bahwa setiap anak yang menyandang cacat merupakan kelompok anak yang membutuhkan perhatian dan perlindungan khusus. Walaupun sejauh ini negara masih selalu alpa akan hal itu dan mengkerdilkan spesifikasi bagi mereka yang tidak ‘normal’ dengan sebatas menyebutkan anak-anak penyandang cacat. Hal ini seolah menutup realitas kalau orang berusia dewasa tidak ada yang masuk kategori tersebut.
_

Difabel (differently able) atau kelompok manusia yang memiliki kemampuan berbeda, adalah istilah yang tengah diperjuangkan untuk menggantikan istilah disable atau penyandang cacat. Karena istilah tersebut mengandung streotipe negatif. (Mansour Fakih: 2002)

Pada dasarnya cacat atau ‘normal’ adalah hasil konstruksi sosial yang berlangsung dalam menentukan sebentuk label pada diri manusia yang dianggap memiliki kesempurnaan dalam bentuk fisik atau sebaliknya. Terlepas bahwa seseorang sudah cacat sejak lahir atau mengalami suatu kecelakaan yang membuat anggota tubuhnya mengalami disfungsi.

Pada kehidupan sosial selanjutnya, mereka yang dianggap memiliki disfungsi anggota tubuh, semisal tuli (tuna rungu), buta (tuna netra), pincang, dan lain sebagainya perlahan akan tersingkirkan dalam kontak sosial dan bahkan termarginalkan. Lebih jauh dianggap kalau kebaradaan mereka adalah sebuah masalah yang harus diselesaikan dengan ‘membunuhnya’ kedalam panti-panti asuhan atau tempat rehabilitasi sosial lainnya. Padahal mereka juga manusia yang memiliki potensi yang sama dengan manusia yang dianggap ‘normal’.

Karena perspektif yang terbangun adalah menempatkan penyandang cacat dengan ketidakmampuan dan ketidaknormalan yang dimiliki. Padahal sejauh ini tidak bisa dibuktikan secara teoritik maupun empirik kalau mereka tidak memiliki kemampuan. Orang buta misalnya, masih memiliki kemampuan berfikir dan berkomunikasi. Sebagaimana dengan orang pincang yang belum tentu tidak bisa berjalan, kalau hakikat berjalan yang dipahamai adalah berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Masalahnya adalah mereka sering dibandingkan dengan manusia yang memiliki kelengkapan anggota tubuh dalam beraktifitas, sehingga panyandang cacat tersubordinasi dari ruang-ruang kerja yang secara ekonomi lebih mapan dan terdepak pada pekerjaan serabutan. Semisal tukan pijat atau pembuat sapuh.

Kekerasan juga seringkali menghampiri mereka (kaum difable) dalam internal rumah tangga. Tanpa disadari mereka yang memiliki anggota keluarga kelainan mental maupun fisik biasanya akan disembunyikan (dibekap) di kamar tertentu dan tak jarang ada yang di pasung. Kekerasan lainnya bersifat psikis yakni ejekan yang begitu destruktif yang menghampiri mereka yang penyandang cacat.

Melalui sejarah konstruksi sosial penyandang cacat yang panjang, melahirkan pandangan yang beragam dalam menilai kaum difabel ini. Pandangan konservatif menilai kalau itu sudah merupakan takdir Tuhan yang tak bisa dihindari. Pandangan liberal menganggap kalau itu merupakan gejala dalam suatu masyarakat yang mesti ditertibkan dengan pendekatan terapi kemampuan. Jadi kaum cacat akan dibedakan dengan mereka yang normal dalam hal apapun, termasuk soal pendidikan, yang hari ini kita kenal dengan SLB (sekolah luar biasa). Padahal metode seperti  itu malah semakin membuat subordinasi sosial karena menyepelekan hakikat kemanusiaan yang sifatnya setara. Lagipula, pengelompokan seperti itu semakin menunjukkan 'ketidakberdayaan' mereka.

Yang terakhir pandangan kaum kritis yang menempatkan kalau adanya ‘cacat’ dan tidak ‘cacat’ adalah merupakan hasil reproduksi suatu ilmu pengetahuan sosial yang erat kaitannya dengan ideologi. Dalam hali ini paham positivistik yang menempatakan manusia sebagai fungsi kebendaan. Jadi terkait adanya pemahaman yang beragam tentang mereka yang disebut penyandang cacat adalah merupakan kontruksi sosial, dan bukan merupakan sebuah takdir sebagaimana yang dialamatkan oleh mereka yang berpandangan konservatif.

Bagaimanapun juga, mereka adalah manusia yang berhak untuk mengembangankan potensi dirinya dalam setiap jengkal kehidupan yang dilalui. Meski memang mereka membutuhkan variabel tambahan dan perlakuan khusus dalam melakukan interaksi di ruang sosial. Sekali lagi, dalam kacamata demokrasi sosial, baik mereka yang memiliki anggota tubuh yang lengkap maupun yang tidak. Sama-sama memiliki kesempatan setara dalam pusaran publik. Karena yang utama adalah kemampuan dalam berbuat dan berfikir.

_



Komentar

Postingan Populer