Hasil Kecerewetan (Kumpulan Pertanyaan yang Masih Butuh Jawaban)


# 1

Meninggalkan tempat yang sudah menjadi hasil kreasi sendiri, harus kuakui teramat sulit. Di suatu tempat yang orang sepakat menyebutnya kota. Sebenarnya kota itu diperuntukkan bagi siapa saja yang mau menghuninya. Tapi sejak meminta tuntutan, maka, ya, sudahlah.

Hingga akhirnya kuakui juga, kalau kota itu segera kutinggalkan, harus kuakui pula kalau alasan utamanya terkait situasi ekonomi dan alasan-alasan lain yang tak kalah ruwetnya untuk kuhadapi. Saya sudah kalah, tetapi saya melewatinya dalam kompetisi yang ketat. Kekalahan ini mengatakan kalau saya bukan pecundang.

Selanjutnya telah kupersiapkan kembali sejumlah amunisi yang kucuri dari gudang musuh yang pernah menaklukkanku. Saya masih ingat betul situasi kekalahanku yang terakhir. Di sebuah bangunan yang bernama sekolah, di tempat itulah saya tak kuat bernafas lalu pingsan. Saat tersadar, tubuhku sudah terbaring lemah di luar pagar.

# 2

Terkadang saya tak mampu membangunkan diri sendiri dari kamar tidur. Banyak mengeluarkan kata-kata tak juga membuatku pergi jauh dari tempat yang menyedihkan ini. bahkan dalam mimpi sekalipun, saya sulit tersenyum. Jangan tanya soal rumah yang bisa disinggahi untuk memasak.

Sampai di sini, sebisa mungkin saya berusaha untuk kembali bersama teman-teman menuntaskan agenda yang pernah direncanakan. Terutama sebuah rumah yang diperuntukkan bagi siapa saja yang datang ke kota. Jika ini keluh kesah yang sangat jarang ditampilkan, akan kuminta saran dari orang-orang yang setiap harinya bergelut di bawah terik matahari.

Teramat banyak memang yang harus dijawab di bawah kendali pikiran. Kurindu Tuhan membunuh dunia lama ini, sudah sangat tua untuk menampung orang-orang. Lalu kuinginkan Tuhan mencipta dunia baru di mana saya dan semua orang yang butuh kedamaian hidup di dalamnya.

# 3

Saya mengundurkan diri dari pekerjaan yang sangat menyita waktu. Dari segi upah, saya sungguh memerlukan itu. Tetapi harus kupilih sesuatu yang lengkap sampai jauh ke depan. Bukan apa-apa, sebenarnya saya suka dengan pekerjaan itu. Namun, kelihatannya saya berdusta pada jalur yang telah kupilih. Merdeka seluas-luasnya adalah keinginan kecilku di masa akan datang dan bisa menjelajah ke tempat yang sulit dideteksi.

Kesulitan memastikan batas umur untuk tetap berjalan, usia di atas 60-an, harusnya sudah beristirahat dari sebuah perjalanan yang sangat berarti kemudian mati meninggalkan nama yang ditandai munculnya era baru dalam memandang.

Pergaulanku saya kira sudah lintas batas yang terbatas jika dibaca dari caraku menjelaskan. Di kampung, saya diingat sebagai anak bandel, akan selalu diingat oleh para orang tua sebagai contoh anak yang tidak layak diikuti. Mereka selalu mengingatku serta mengulang-ulang tingkah lakuku, gaya bicaraku, dan menceritakan caraku melompat pagar untuk mencuri buah mangga.

# 4      

Saya tidak mau bilang kalau takdirlah yang membuatku menjalani rutinitas sekolah tingkat atas di kota. Lebih tepat, saya sendiri yang mencoba berontak pada keluarga, kalau saya membenci sekolah di desa. Lebih tepatnya lagi, saya benci berpisah dengan teman akrabku.

Sebenarnya, saat SMP saya sering jalan dengan tiga orang teman. Di akhir pelulusan sekolah, kami sepakat akan lanjut ke sekolah tingkat atas yang sama. Harapan itu kemudian buyar di saat pengumuman siswa yang diterima dari kami berempat hanya satu yang lolos kategori karena standar NEM (Nilai Ebtanas Murni) yang berlaku saat itu.

Sebenarnya lagi, nilai teman saya itu sama sekali tidak murni. Saya tidak bisa melupakan situasi saat ujian akhir, nilai teman yang lulus kategori itu didapat dari hasil mencari jawaban (menyontek). Namun anehnya, nilai kami berempat berbeda. Padahal semua jawaban sama dan mustahil bisa mengubahnya, karena di antara kami selalu was-was dengan jawaban itu (tepantnya tidak yakin). Seteliti mungkin jawaban kami periksa kembali dan yang terpenting memastikan tidak ada jawaban yang berbeda sebelum dikumpul ke pengawas.

Sejumlah alasan inilah yang membuatku harus sekolah di kota, tetapi persahabatan kami tetap baik-baik saja sampai catatan ingatan ini saya tuliskan kembali.

Tiga tahun bersekolah di kota, tahun pertama saya cukup pintar karena saya rajin mencatat seluruh ocehan guru dan kembali berprestasi dari kompetisi ujian. Tetapi tidak bertahan lama. Memasuki tahun ke dua, sebutan anak bandel kembali kusandang. Bahkan gelar anak bandel di kota jauh lebih sadis dibanding di desa. Saya terkenal di sekolah sebagai murid pembangkang, tetapi saya kira sebutan itu selalu dirindukan pada setiap orang yang selalu berusaha menentang ketidakadilan. Jujur saja, saya bangga dengan pelabelan itu.

Tetapi jika dibandingkan lagi dengan di desa, di kota saya cukup taat terhadap peraturan sekolah. Saya tak pernah merokok selama dua tahun. Rambutku selalu rapi bak perwira tentara (rambut cepak memang kegemaranku). Saya pun selalu tampil sebagai pembaca Undang-Undang Dasar (UUD) 45 pada upacara bendera saban Senin. Jelas guru selalu kebingungan, karena semua aturan selalu kuturuti. Mungkin di tiap sudut tembok sekolah mesti dipasang papan pengumuman bertuliskan: DILARANG BANYAK BERTANYA.

Sepenggal kisah dari desa ke kota, begitulah selanjutnya. Di kota, saya mulai dikenal dan mengenal diriku sendiri. Lalu saya mulai pergi ke kota-kota lainnya. Di sini dekat sekali keberadaanku akan harapan yang belum muncul.

Minggu terakhir sebelum saya berangkat ke kota yang baru[1]. Kota itu berada di bagian Timur Indonesia, seorang teman yang berasal dari sana sudah bicara banyak padaku mulai dari suku-suku dan prilakunya. Ia pun berencana segera pulang untuk meredam alur konflik. Mimpinya itu saya dukung sepenuhhnya.

Pada suatu siang, saya mengunjungi teman-teman yang mendapat izin lanjut kuliah oleh keadaan. Teman-teman itu selalu saja kupergoki sedang berpidato di selah-selah kuliahnya yang sebenarnya tidak wajib dan penting. Ia masih mengajakku menerbitkan majalah bulanan khusus buat pelajar SMP dan SMU yang merupakan agen transisi ke dunia akademik dan ke masyarakat. Karena tidak semua lulusan pelajar ini dapat melanjutkan ke tingkat berikutnya. Kalau tidak lanjut, pasti berbaur di tengah masyarakat. Dan, yang pasti sebelum kota ini kutinggalkan, saya masih meluangkan waktu ke toko buku walau sekadar melihat-lihat saja.

Di mingu terakhir keberangkatanku, saya juga pulang ke kampung. Jalan sama teman-teman sebayaku. Utamanya tiga orang sahabat yang saya ceritakan sebelumnya[2]. Saya berbohong padanya tentang keinginan membangun rumah dan menikah dengan perempuan di kampung.

Malam harinya, saya menyempatkan membaca buku yang sudah kutata dengan rapi di rak. Saya rindu suasana seperti ini. Awalnya saya tak ingin diketahui oleh teman-teman di kampung kalau di malam-malam yang panjang saya selalu berkelahi dengan buku-buku. Tetapi akhirnya mereka tahu juga karena saya sering telat bangun.

# 5

Hal wajar yang selalu datang pada anak muda, keinginan segera menaklukkan seorang dara sebagai bukti kedewasaan. Tetapi sejauh ini saya belum dewasa untuk urusan itu. Tiap perempuan yang kuakrabi selalu saja lupa memberinya bunga. Malah bukulah yang sering kuhadiahkan. Atau secarik surat panjang berkisar empat hingga tujuh halaman kwarto. Jujur saja, isi surat itu bukan pujian atas dirinya, melainkan caraku bereksperimen dalam menulis. Karena dua hari setelah surat itu kuberi. Saya meneleponnya untuk menanyakan tanggapannya. Dan, 100% ia tak yakin kalau isi surat itu adalah caraku mengungkapkan perasaan.

Ini lebih mirip usaha pelarian diri yang tak sanggup kujawab. Saya tak puas untuk sementara. Banyak sekali perjalanan-perjalanan yang ingin segera kutulis, tetapi saya sendiri tak begitu yakin untuk mempertanggungjawabkannya secara lisan di hadapan para petarung-petarung tangguh. Namun, yang penting sekarang ini, catatan yang kubuat sebagai suatu laporan saja pada kontrak wacana, dan itu pilihan sekaligus proses. Saya tak pernah cemas akan dampaknya, karena sudah kuketahui sebelumnya. Semua ini bukan keluh kesah atau usaha pengunduran diri. Hidupku kuinginkan berarti lalu matiku lebih berarti karena akan menjadi suatu hari perayaan. Setidaknya dikenang sebagai nama suatu jalan di tanah kelahiran.

Kembali sisa waktu saya berangkat. Kusiapkan apa saja yang perlu. Baju secukupnya, buku yang pasti dan harapan yang baru. Kalau saya tetap berkeinginan menerbitkan kumpulan catatan berupa puisi, cerpen, novel, atau buku panduan seorang pejalan yang tersesat di kota.

Masih di kampung. Tempat terakhir saya singgahi. Di sini terasa sejuk, kusempatkan sebagai istirahat yang baik. Kusimpan serangkaian kegiatan membaca lalu kusempatkan menonton sinetron, iklan produk terbaru, kuis, reality show, gosip, dan beberapa program lain dari sejumlah saluran televisi yang selalu siap beroperasi 24 jam. Senang saja menyaksikan acara-acar itu yang selama ini saya hanya diceritakan sama teman. Tetapi semua itu cuma sebentar. Cepat atau lambat (biasanya cepat). Saya tidak bosan melainkan jenuh karena semua tontonan itu bukan kebutuhanku.

Kusiapkan sendiri agenda perjalanan dan sengaja tidak mengajak teman. Kupikir menambah masalah baru baginya. Cukup mereka punya waktu tidur enam jam sehari dan semoga tidak ada mimpi buruk yang menganggu.

Saat kutulis catatan busuk ini, kuharap warung tanpa papan nama di sudut lorong milik Mbak Yu[3] tidak ikut-ikutan menaikkan harga nasinya. Kasihan para “burung” yang selalu singgah di sana, termasuk saya. Rencananya, sebelum berangkat. Saya akan akan ke Makassar untuk mentraktir teman-teman yang jumlahnya sudah tidak banyak. Sebagian telah pergi terlebih dahulu menacari tempat yang teduh dan asik untuk berfikir.

# 6

Di dunia ini, ada penjual dan ada pembeli. Tuhan pun berdagang untuk cintanya, dan agama-agama itu menjadi agen penyalurnya. Jika kaum kapitalis hendak menjual produknya yang terbaru bernama globalisasi itu. Kita cukup bilang, pasar kami mengharamkan produk semacam itu, dan bilang pada masyarakat kalau produk itu tidak layak dikonsumsi karena akan membawa malapetaka. Contohnya, kita segera angkat kaki dari tanah kelahiran sendiri dan melupakan nama tetangga.

Sekiranya kepergianku ke suatu tempat yang sebagian orang bilang tempat untuk mengumpulkan uang banyak. Karena potensi untuk menjadi penimbun modal sangat terbuka lebar. Saya sedih bila mendengar ucapan seperti itu. Masyarakat di sana (Papua) masih didefinisikan sebagai yang terbelakang di negeri ini.

Selain itu, saya masih risi mendengar wacana perlawanan kawan-kawan di kotaku ini. Katanya, setiap lini harus direformasi. Sementara dominan masyarakat masih terlalu lapar untuk ikut berubah dalam adonan reformasi. Saya sering bilang, kalau reformasi butuh transformasi. Tetapi suaraku segera hilang oleh pementasan konser anak band yang sering dipentaskan di kota ini. Kawan yang lain bilang: “Orang-orang di parlemen itu sudah tua, dan sebentar lagi pensiun kalau tidak mendadak mati. Kita yang mudah inilah yang sudah cerewet yang akan menggantikannya. Jadi santai saja, pemilu berikutnya kita mencalonkan diri jadi wakil rakyat. Gampang, kan!!.”

Ia berhenti sejenak, dan kami yang mendengarkannya mengangguk-ngangguk saja terbawa arus retorikanya. Sesaat kemudian ia melanjutkan pidatonya sebelum pergi. “Soekarno saja yang memproklamirkan Indonesia dikudeta sebelum pensiun.”

Seperti itu saya sedih. Tetapi tetap harus berangkat untuk mencari tempat bertahan dan membangun rumah bagi orang-orang yang selalu merumuskan solusi yang tentunya bukan untuk penyelamatan dirinya sendiri. Tepatnya, menyekolahkan masyarakat agar mampu membaca dunia di sekitarnya dengan segala permasalahannya yang tak cukup dengan anggukan kepala saja karena terpaksa atau terhipnotis oleh indahnya makna kata yang terucap tetapi tidak dipahami.

Saat ini, kita dan masyarakat masih sangat lapar. Sehingga siapa yang dapat giliran selaku tuan presiden, tidak peduli sama sekali.

Kita butuh pementasan kehidupan sosial tanpa sekat, mulai dari dalam rumah, menyapa orang di jalan, membantu tetangga, menghormati perbedaan, pendidikan merata dan murah bagi rakyat (wajibnya gratis), dan terserah kawan pembaca yang perlu ditambahkan untuk transformasi hidup agar tidak muluk-muluk.

***
Pangkep, 19 Desember 2004
Makassar, 8 April 2014 (Revisi)


[1] Hari-hari terakhir sebelum saya berangkat ke Sorong, Papua Barat. Saya menuntaskan catatan ini.
[2] Teman SMP saya, Idris, Herman, dan Dedy
[3] Kami memanggilnya demikian, seorang tua tanpa anak yang menolak pulang di kampungya di Jawa. Ia mengontrak petak rumah dan menjual nasi di jalan Kakatua, Makassar. Warungnya menjadi pilihan utama bagi para mahasiswa dan tukang becak karena murah.  Kini sudah berhenti dan memilih menetap di Gowa. Saya tidak tahu dengan siapa ia tinggal di sana


Komentar

Postingan Populer