Drama Bulan Juni 2010
Drama itu
berjudul Pilkada dan Piala Dunia, karena bulan juni 2010 lalu merupakan bulan
yang paling ditunggu-tungu oleh pasangan kandidat di sepuluh Kabupaten di
Sulawesi Selatan yang akan bertarung dalam pemilihan kepala daerah.
Selain itu,
bulan juni juga menjadi bulan yang sangat di tunggu-tunggu oleh seluruh pecinta
bola di seluruh dunia. Karena perhelatan sepak bola terakbar empat tahunan itu akan
di gelar untuk pertama kalinya di Benua hitam Afrika, tepatnya lagi di Negara Afrika
Selatan yang di mulai pada tanggal 11 Juni 2010. Sebuah ajang pertarungan bagi
kaum pria, kata salah satu iklan rokok. Tetapi tidak
bagi ajang Pilkada. Karena dalam perhelatan pemilihan kepala daerah lima
tahunan ini juga mencatat nama perempuan untuk mendapatkan legalitas
kepemimpinan politik.
Pilkada dan
Piala Dunia sama-sama memilki tujuan dan akhir dari perhelatannya. Dan juga
sudah memenuhi syarat-syarat kelengkapan admnistratif. Karena jauh hari sudah
terbentuk kepanitiaan, wasit, dan peserta. Sebagaimana kesiapan Afrika Selatan yang
sudah membenahi diri untuk menjadi tuan rumah yang baik dengan menyediakan
sarana pertandingan (stadion) dan keamanan demi lancarnya piala dunia. Kemudian
seleksi FIFA di setiap zona sudah melakukan pengundian delapan grup dari 32
Negara yang lolos sebagai kontestan. Hal ini juga terjadi pada persiapan
Pilkada di sepuluh Kabupaten di Sulawesi Selatan, Panita (KPUD), wasit
(Panwas), dan peserta (Kandidat) semuanya sudah definitif dan sisa menunggu
tanggal 23 Juni mendatang sebagai jadwal yang ditetapkan oleh KPU.
Demokrasi
Sepakbola
Sebagaimana
kita ketahui perhelatan akbar kompetisi sepak bola sejagad ini memakan biaya
yang tidak sedikit. Karena setiap negara melalui komite sepakbolanya
masing-masing tentunya telah melakukan belanja perelengkapan, menyiapkan bonus
bagi pemain dan menggaji pelatih sebagai bagian dari kekuatan untuk mengatur
strategi kemenangan.
Melalui piala
dunia demokrasi sepakbola tidak hanya menunujukkan adanya sejumlah pertandingan
antar negara, tetapi juga sebagai diplomasi kekuatan modal,
budaya, sejarah dan politik. Karena untuk menjadi tuan rumah tidaklah gampang.
Sepakbola
dewasa ini tidak lagi sebagai sebuah medium untuk mengeluarkan keringat semata dan
memenangkan permainan, tetapi
lebih dari itu. setiap negara yang yang nantinya bertanding bukan hanya
memperlihatkan gaya permainan (budaya) tetapi
juga merk baju yang di pakai (modal),
dan jika di akhir permainan ada yang kalah. Maka kekuatan politik di luar
panggung lapangan hijau menjadi eforia penyelenggara negara tersebut untuk
menunujukkan sebuah diplomasi.
Sebagai
contoh sederhana, pertemuan timnas Argentina dengan timnas Belanda di perempat
final piala dunia 1998 di Prancis yang dimenangkan oleh Belanda dengan skor 2-1,
mengingatkan sejarah pertarungan (pertempuran) kedua negara pada perang perebutan
kepulauan Las Malvinas pada tahun 1982. Dan tentunya menujukkan legitimasi
produk dari, karena Belanda menggunakan merk
Nike dan Argentina menggunakan kostum merk
Adidas.
Ada
pergeseran makna dan nilai, dan itulah yang terjadi. Dahulu pada pertandingan
piala dunia pertama di tahun 1930 fungsi kaos hanya untuk membedakan dengan
team lainnya saat bertanding. Tak ada embel-embel desain dan merk yang meliputi kaos yang dikenakan.
Tetapi siapa yang mau menolak perkembangan
teknologi. Dimana modal menjadi penentu atau bahkan menjadi pemain yang ke 14
dalam suatu pertandinagan.
Sejarah juga
mencatat kalau diakhir pertandingan yang dinilai sportif oleh setiap pemain,
maka mereka akan bertukar kaos. Tak peduli dengan peluh keringat, gesekan otot,
atau sikap tidak rela dari pendukung yang melihat adegan itu dipanggung
lapangan hijau sebagai akhir dari suatu drama pertandingan. Mungkin itu
merupakan isyarat kalau pertandingan yang dilewati betul-betul memuaskan semua
pemain dan mesti diapresiasi untuk mendewasakan diri kalau kalah menang
sebenarnya bagian dari pertandingan yang tak terelakkan.
Bagaimana
dengan Pilkada
Dalam sejarahnya,
pelaksanaan pilkada mulai dari pemilihan kepala daerah tingkat satu (Provinsi)
dan daerah tingkat dua (Kabupaten) mencatat akhir yang tidak selalu sportif yang bisa langsung diterimah oleh kandidat
lainnya yang kalah.
Pilgub
(Pemilihan Gubernur) Sulawesi Selatan tahun 2008 lalu menyisakan tanya dari kandiddat
lainnya setelah adegan akhir perhitungan suara resmi yang dikeluarkan oleh KPU
Provinsi. Seolah ada naskah lain yang dijalankan oleh kandidat pemenang yang
tidak diketahui oleh sang “Sutradara” (KPU), kemudian lahirlah “drama” baru
yang disebut dengan sengketa pemilu yang harus dipentaskan diruang sidang
Mahkama Konstitusi.
Kontsruksi
demokrasi yang sejatinya dimaksudkan sebagai pengganti sistem monarki yang
absolut agar rotasi kepemimpinan hasil kesepakatan suara rakyat mampu menjadi pengayom
moral dari satuan-satuan moral pemilih kedalam diri pemimpin. Namun idealitas
itu hanya bisa bertahan dalam alam pemikiran semata dan menjadi utopia dalam
realitas sosial.
Pilkada
adalah salah satu corak dari usaha eksperimen demokrasi yang terus diujicobakan
sebagai hasil akhir diskursus desentralisasi (Federal malu-malu) di republik ini.
Maka tidak menjadi muskil jika kemudian terjadi juga akumulasi modal, merk, budaya, sejarah, konsepsi politik.
Pada situasi
ini, partai politik sebagai merk kendaraan
yang dipakai kandidat, jelas memainkan peran yang sangat dominan sebagai suatu upaya
legalitas administratif demokrasi menuju penguatan legalitas politik. Selain
itu takdir sejarah menjadi acuan tersendiri yang tak terpisahkan untuk
mengingatkan latar belakang kandidat dalam memperoleh legitimasi budaya kebenak
ingatan masyarakat (pemilih).
Kita tak
henti mengharap sebagai sebuah bagian dari keikutsertaan dalam proses demokrasi
meski partisipasi itu dibonsai kedalam kategori pemilih semata. Atau mereka
yang memilih golput (golongan putih) yang merupakan suara lain atas pemenuhan
hak konstitusional sebagai warga negara, karena sekarang tak lagi dikenal wajib
pilih tetapi hak pilih. Jadi mau memilih atau tidak,
sudah tak lagi dianggap sebagai sesuatu yang haram karena jika masih
diharamkan, berarti masih mempertahankan kelucuan karena yang mentasbihkan ke
“haram”an bersumber dari legitimasi politik.
Drama yang
baik tentunya yang bisa membawa penonton menemukan pencerahan dari apa yang
sudah dipentaskan. Hal itu meliputi kejelasan alur, kedewasaan tokoh,
kecerdasan sang sutradara dan elemen lainnya untuk membuat apik pementasan.
Karena drama yang sebenarnya adalah setelah penentuan akhir penghitungan suara
dan pengumuman kandidat yang mendapat suara terbanyak. Selanjutnya sang
kandidat pemenang akan menjadi aktor, sutradara sekaligus penulis skenario
untuk menjalani lakon monolog dalam mementaskan program kerja lima tahun
kedepan. Dan, mudah-mudahan saja lakon yang dipentaskan
membuat penonton (masyarakat) memperoleh pencerahan (kesejahteraan).
_
Catatan ini saya persiapkan untuk media lokal Makassar tahun 2010
lalu untuk merespons
momen Pilkada dan Piala Dunia, namun tidak dimuat, lama mendekam di folder. Saya lalu
merevisinya (tidak terlalu banyak yang berubah) agar tidak tidur nenyak di
komputer untuk dimuat di blog ini.
Komentar