Siapa Mengingat Kita, Catatan yang Lupa Buat Teman-teman PPIM (Bagian 2)



Wajah pergerakan mahasiswa di Makasssar akan berubah jika orang-orang seperti kalian (PPIM) yang berada di dalamnya
Iqbal Parewangi

Anak Zaman yang Melahirkan Zaman[1]

Slogan di atas merupakan sumbangan ide dari Kak Iful (Saiful Haq) atas geliat kegelisahan pelajar Makassar yang terhimpun dalam PPIM (Perhimpunan Pelajar Indonesia Makassar). Sebuah diktum yang segera membuat kita bangga sebangga-bangganya. Kita telah membuat sejarah untuk menandai zaman kita. Era di mana keberagaman kesadaran dirayakan, era ketika kita melakukan tindakan pembebasan dari belenggu sekolah yang menindas, dan penciptaan peristiwa kalau manusia adalah pewaris sah atas zamannya masing-masing. Kita menerjemahkan itu ke dalam proses dialektika kesadaran bersama.

Umur PPIM memang pendek, saya sendiri aktif di sini tak cukup setahun, ketika itu saya sudah kelas tiga dan harus membagi waktu dengan ancaman pelulusan di sekolah. Tersebar kabar kalau saya, Bim, dan seorang teman lagi bernama AB Yoga bakal tidak lulus karena sebuah dosa: Jarang masuk sekolah, sering membuat ulah, nilai ulangan jebol, dan selalu berdebat dengan guru.

Sebenarnya Bim adalah siswa yang baik-baik di sekolah (SMK UMI). Ia selalu terlibat kegiatan keagamaan. Begitupun dengan Jamil (yang memproklamirkan namanya menjadi Oki). Tetapi entah kenapa mereka berdua menghibahkan waktunya untuk PPIM. Jadilah kita bertiga menjadi representasi pelajar UMI yang aktif di PPIM.

Dalam suatu rapat bersama (saya lupa tempatnya di mana) saya mengatakan kalau sekretariat PPIM bisa bertempat di SMK UMI. Respons teman-teman saat itu sulit ditafsirkan, apakah sepakat atau tidak. Karena selama ini PPIM selalu bermarkas di SMU Negeri 5 Makassar. Nah, dalam narasi inilah kemudian berkembang isu, kalau anak UMI akan menguasai PPIM dan mengarahkan aktifitasnya untuk selalu melakukan demonstarsi di jalan. Karena sebelumnya memang anak pelajar UMI selalu melakukan aksi demikian menentang kenaikan harga BBM di era pemerintahan Megawati.

Desas-desus ini semakin menguat ketika agenda rapat dilaksanakan di UMI. Peserta rapat bisa dikatakan kuorum, beberapa perwakilan sekolah hadir. Cuma anak SMU Negeri 5 yang tidak sempat hadir, termasuk Anton. Dalam rapat itu saya mengajak teman-teman untuk terlibat aksi demonstrasi. Senja, dari SMU Negeri 8 Makassar juga hadir dan mengatakan kalau kita belum bisa mengambil kesepakatan kalau aksi ini melibatkan PPIM. Selanjutnya saya agak lupa. Tetapi yang pasti, aksi tetap dilakukan meski semuanya anak UMI.

Setelah rapat di UMI inilah terjadi perang urat saraf. Anton yang mungkin tidak sepakat dengan tindakan saya jelas memperkuat basisnya kepada anggota PPIM, sehingga rapat-rapat selanjutnya kembali diadakan di SMU Negeru 5. Tindakannya itu saya tanggapi bersama Bim kalau sikap Anton tidak demokratis. Sempat terbersit niat untuk membuat lembaga tandingan tetapi tidak terwujud.

Realitas ini mungkin ditelaah oleh Kak Iqbal sehingga beberapa kegiatan Gama College selalu melibatkan anak-anak PPIM, seperti Try Out akbar di Manunggal dan beberapa kegiatan di LEG Bukit Baruga. Dengan pendekatan kegiatan ini kemudian, ego perlahan terkikis hingga pada akhirnya kita semua makin akrab satu sama lainnya.

*

Beberapa pertemuan selanjutnya bertempat di kediaman Kak Iqbal di jalan Datu Pattimang. Sikap akrab dan familiar dari beliau perlahan menghancurkan sikap-sikap sombong di antara teman-teman. Ada banyak momen yang sangat penting tercipta di sana. Di antaranya, yang saya ingat ialah, ketika begadang membicarakan persiapan workhsop pelajar se Sulawesi Selatan. Dua jarum jam di dinding sudah terhenti sejenak di angka 12. Lalu, tiba-tiba Yuni, dari SMU Negeri 5, mengucapkan selamat ulang tahun kepada temannya, Siska Rini yang lagi berulang tahun saat itu. Kontan saya menyalakan korek api untuk ia tiup. Hal yang sama pula dilakukan oleh Kak Iqbal untuk merayakan momen bahagia tersebut. Kak Iqbal bukan hanya seorang dermawan yang selalu menyokong ide dan dana buat PPIM, tetapi juga telah bermetamorfosis menjadi ayah buat PPIM.

Suasana hangat lainnya yang masih saya ingat di rumah Kak Iqbal, ialah makan mie rebus bersama. Kalau tidak salah ada Anton, Kak Marwan, Kak Irfan, Awal, dan Bim. Ia lalu menceritkan pengalamannya sewaktu mahasiswa di Yogyakarta. Ia mengatakan kalau belum afdal seseorang disebut sebagai aktivis kalau tidak menjadikan mie kemasan sebagai makanan wajib. Ini mungkin alegoris dalam melihat situasi ekonomi kalangan kaum aktivis pada umumnya, yang tebal hanya semangat dan ide. Isi saku hanya cukup membeli sebungkus mie.  Lalu tawa pun menderai memecah kebisuan akibat canda Kak Iqbal.

Lalu keluarlah kalimat untuk menyemangati tamunya pada malam itu. “Wajah pergerakan mahasiswa Makassar hanya akan berubah jika orang-orang seperti kalian yang berada di dalamnya,” ucap Kak Iqbal dengan serius.

Semangat ini tak sempat saya wujudkan. Karena saya memilih tidak melanjutkan jenjang pendidikan meski memperoleh kesempatan kuliah gratis di UMI. Hanya Anton, Bim, Awal dan teman yang lain membuktikan itu. Bim menjadi aktivis PMII semasa kuliah dan menjabat Ketua BEM di fakultasnya. Anton dan Awal memilih HMI.

Dulu Bim pernah berujar setelah pelulusan sekolah telah usai. Dimana pada akhirnya saya dan dia lulus juga dari kutukan dosa sekolah. Kami lulus meski dengan nilai yang susah untuk dikatakan sebagai siswa pintar. Nilai kelulusan kami sangat pas-pas. Ia memimpikan kalau begitu kita kuliah, Anton jadi ketua umum HMI, saya ketua umum LMND, dan ia di PMII. Mimpi ini meski tidak terwujud, tetapi beberapa persiapannya telah dijawab dengan sangat heroik oleh Bim dan Anton. Dalam salah satu pertemuan, mereka berdua menceritakan sepak terjangnya di masing-masing lembaga tersebut.

Pertemuan Rahasia

Sekali lagi umur PPIM memang singkat, setahu saya teman-teman pernah menggelar kongres kedua di tahun 2004. Namun saya sudah menghilang, saya tidak sempat lagi terlibat di dalamnya. Melalui sebuah perjumpaan dengan Bim (saya sudah lupa kapan pertemuan itu). Ia menceritakan  suasana kongres yang seru, dan beberapa peserta menanyakan nama saya.

Ia pula menyumbangkan sebuah lagu mars buat PPIM. Lalu pertemuan berikutnya bersama Anton, ia juga menceritkan hal yang demikian dan memperlihatkan beberapa foto kegiatan aksi kemanusiaan ketika terjadi peristiwa pemukulan aparat terhadap mahasiswa UMI pada 1 Mei 2004.

Setelah lama mendekam di kampung. Tahun 2004 saya kembali menetap di Makassar selama 4 bulan sebelum saya memilih merantau ke Sorong, Papua Barat.[2] Waktu itu saya isi dengan menggelar beberapa pertemuan segi tiga dengan Bim dan Anton. Lewat Bim saya peroleh kabar terkait tindak-tanduk Anton dalam persiapan kongres. Ia sangat mendominasi setiap jengkal persiapan dan pasca kongres.[3]

Melalui Anton, saya peroleh kabar kalau ada beberapa ketidaksepakatannya dengan tindakan Bim, termasuk penolakannya atas lagu mars yang dibuatnya. Namun, atas nasihat Kak Iqbal yang kembali menunjukkan kapasitasnya sebagai Ayah yang baik anak-anak zaman di PPIM. Kalau semuanya harus dirangkul. Lagu itu sendiri sempat Bim nyanyikan sepotong di depan saya. Ia memang ahli untuk itu di antara teman-teman PPIM. Selain pandai memainkan instrumen gitar, vokalnya memang bagus.

Sebenarnya ada beberapa catatan harian yang saya catat untuk masa-masa ini.[4] sengaja saya catat untuk menandai beberapa pertemuan. Sekali waktu, saya, Bim, Ari, dan Dilla[5]. Kami Mengadakan pertemuan di kampus II UMI. Ari dan Dilla menceritakan beberapa kemandekan gerakan dalam PPIM, hampir tidak ada kegiatan yang berarti pasca kongres kedua. Dari pertemuan itu melahirkan kesepakatan untuk membentuk badan alumni PPIM. Hanya saja  tidak terwujud.

Saya sendiri tidak tahu perkembangan selanjutnya. Setahu saya, PPIM tidak pernah dibubarkan. Ia masih hidup dalam labirin ingatan dan fantasi masing-masing pelajar yang pernah singgah di sana.


PPIM dalam Wajah Facebook

Apakah saya harus minta maaf kepada teman-teman, karena secara sepihak saya telah menggunakan nama ini untuk akun Facebook saya. Saya tidak tahu. Karena PPIM tidak pernah dibubarkan secara sah. Maka secara yuridis ia masih hidup, meski tanpa bayang. Dan, saya yakin dalam undang-undang PPIM tidak membenarkan pemakaian nama lembaga secara sepihak. Berdasarkan hal ini saya telah melanggar hal tersebut. Tetapi bagi saya sendiri itu tak mengapa. Saya akui kalau ini suatu tindakan yang tidak sesuai dengan konstitusi PPIM. Hal ini saya lakukan atas kecintaan saya terhadap PPIM.

Niat awalnya bermula ketika saya berbicara lewat telepon dengan awal di tahun 2009 lalu. Dalam pembicaraan panjang itu, saya tanyakan perihal kabar teman-teman. Namun Awal juga tidak tahu. Ia lalu menganjurkan agar saya menggunakan Facebook untuk mencari teman-teman. Sebelumnya juga Bim telah menyindir saya karena tak memiliki akun Facebook. Atas dasar itulah saya memutuskan untuk membuat akun dengan sadar menggunakan nama PPIM Makassar.

Hampir tiap hari saya mencari nama teman PPIM. Berharap bisa menenukannya. Tetapi selalu saja gagal, nama yang sama selalu tampil begitu banyak. Saya pikir teman-teman menggunakan nama samaran sehingga menghambat proses pencarian.

Sebelumnya Awal sudah meminta agar saya membuat group lagi, hal itu tak begitu saya tanggapi. Barulah setelah pertemuan tahun 2011 kemarin di Warkop Dg Sija bersama Bim dan Anton. Group Facebook PPIM saya buat, dan secara perlahan beberapa teman berhasil diketemukan di dunia maya.
*


[1] Terjadi kesalahan ingatan pada pemuatan edisi sebelumnya yang mana saya katakan kalau slogan ini merupakan sumbangan ide dari Kak Iqbal, Anton mengonfirmasi kalau ide ini dari Kak Iful. Sumbangan ide dari Kak Iqbal yang selanjutnya menjadi tagline PPIM: Pelajar adalah Kekasih yang Terkasih.
[2] Rencana keberangkatan saya sebelumnya sudah saya utarakan pada Anton dan Awal, keduanya saya beri buku sebagai kenang-kenangan. Di luar dugaan, mereka berdua datang di pelabuhan untuk mengantar saya.
[3] Saat catatan ini saya tuliskan, saya sengaja tidak mengomfirmasi ulang teman-teman seperti Anton, Bim, dan Awal. Hal ini saya lakukan karena penulisan ingatan ini hanya untuk merefleksikan potongan-potongan peristiwa. Saya pikir rahasia ini tak perlu saya simpan lagi. Karena saya memegang nilai kalau kita semua sudah dewasa dan tua. Sudah sulit untuk memelihara tegangan urat saraf. Sekaligus saya minta maaf kepada kedua belah pihak, Bim dan Anton atas keterusterangan ini.
[4] Edisi revisinya akan saya muat kembali.
[5] Generasi selanjutnya yang muncul di kongres ke 2 PPIM dari SMU 4, menurut Bim, Dilla sangat menonjol pada saat kongres kedua.

Komentar

el-Fatih mengatakan…
Thank's bro
kamar-bawah mengatakan…
Bim....oke sobat,,,maaf sebelumnya jika ada ingatan yang dulu kita bicarakan saya muat disini...komentarnya di grup juga, supaya teman2 yang lain bisa membacanya..

Postingan Populer