Mandat dalam Teguran (Protes M. Farid W. Makkulau atas Muatan Tulisan M. Aris & Arman Naim)

Edisi Mandat yang dipersoalkan (Dok. Kamar Bawah: 2011)

Pertama-tama saya haturkan salam hormat kepada M Farid W Makkulau (Etta Adil) dan salam salut kepadanya atas jasa yang selama ini ditekuninya sebagai penulis. Ia amat berjasa memperkenalkan Pangkep dan sejarah yang melingkupinya kepada publik. Baik itu melalui buku, esai, maupun bentuk tulisan lainnya.

Informasi terbaru yang saya ketahui tentang beliau, ia merupakan Kompasianer yang aktif  memposting tulisan dan juga seorang Wikipediawan. Mungkin cuma ia satu-satunya orang Pangkep yang rajin mengrim tulisan ke situs penyedia informasi tersebut. Sungguh luar biasa.

Hal yang menarik saya untuk berkomentar di sini (Menuliskan catatan ini) tentu saja soal bentuk plagiarisme (meniru) yang dialamatkan kepada M Aris dan Arman Naim terkait muatan tulisannya di Majalah Mandat. M Farid W. Makkulau menyebutkan kalau tulisannya telah ditiru tanpa menyebut sumbernya.

Sebenarnya saya pun telah membaca tuntas majalah tersebut, namun saya kembali membaca ulang tulisan yang berjudul ‘Menikmati Senja di Kota Pangkajene’ yang mana menurut beliau tulisan ini memiliki semangat dan bahkan ada satu paragraf yang sama persis dengan tulisan yang jauh sebelumnya sudah ia posting di Kompasiana.

Dalam resonansi pembacaan saya atas tulisan yang diprotes  M Farid W Makkulau, adalah merupakan bentuk kesaksian komunal yang ditulis oleh M Aris dan Arman. Siapa pun punya hak untuk menuliskan pengalaman dan pengamatannya atas ruang publik. Termasuk di tepi sungai Pangkajene dan segala aktifitas yang melekat padanya. Baik sebagai tempat jajanan kuliner, taman segitiga, lokasi tugu bambu runcing, dan bahkan sebagai tempat pangkalan pebentor.

Namun disayangkan, M Farid W Makkulau tidak menyebutkan atau menuliskan ulang paragraf yang sama persis itu. Sehingga teks ini tidak berakhir sebagai closed meaning bagi pembaca. Karena tulisan itu berpeluang mengandung potensi otoriter makna dalam bahasanya bapak linguistik modern, Ferdinand De Sausure. Makanya akal pembaca perlu dimanjakan dengan perbandingan. Tapi saya coba menerka kalau paragraf yang dimaksud mungkin yang berbunyi seperti ini: 'Saat kami sampai di pinggir sungai pangkajene yang merupakan salah satu akses sungai yang pernah menandai masa pertumbuhan dan kejayaan kerajaan Siang dan Barasa...’.

Kalau keberatan, M Farid Makkulau berada pas pada titik kesamaan ini yang mana M Aris dan Arman Naim tidak mencantumkan sumbernya. Saya pun sepakat kalau harus terlebih dahulu memberikan perbandingan sebelum buru-buru menyebutnya sebagai bentuk plagiat.

Namun, jika semangat penulisan dalam memberikan kesaksian atas ruang publik dan kedua kerajaan besar yang dimaksud (Siang dan Barasa) di mana M Farid W Makkulau menuliskan kalau selama ini menjadi fokus kajiaanya dan menyebut link (sumber) dari data kerajaan tersebut mengarah pada Wikipedia. Saya sangat khawatir kalau M Farid Makkulau mengarah pada sumber tunggal atas data kedua kerajaan tersebut dan menganggap kalau itu merupakan penemuan penting atas fokus kajian yang selama ini ia geluti. Tanpa menapikan kepasitas M Farid W Makkulau yang saya hormati. Saya pernah menulis tentang hal tersebut, tapi rujukan saya adalah Pelras (penulis buku Manusia Bugis).

Asyumardy Azra dalam salah satu tulisannya pernah mengingatkan akan bahaya penulisan sejarah yang bersumber dari pusat (baca: satu sumber) Sejurus dengan itu, atas semangat historiografinya Koerdjaningrat, sejarah seharusnya bersumber pula dari pinggir supaya ada keseimbangan ingatan atas sejarah. Hal itu dimaksudkan agar sejarah tidak sekadar berakhir pada sejarah orang-orang besar sebagaimana yang digelisahkan Ali Syariati. Karena jika demikian, akan terjadi begitu banyak pewartaan serta pelupaan akan kontribusi orang-orang kecil ejek Bertol Brech dalam salah satu sajaknya. Sekali lagi, kita tak bisa mengunci ingatan dan pengalaman setiap orang yang memiliki pertimbangan akal akan sejarah.

Sebenarnya lagi, Seno Gumira Aji Darma juga pernah menuliskan kalau sejauh ini belum jelas sejarah plagiarisme di Indoensia. Namun jauh sebelumnya, HB. Jassin pernah memberikan pemetaan akan tema ini. Kala itu, Chairil Anwar tengah dihujat dengan isu plagiat atas beberapa karyanya. Pemetaan itu berupa dua opsi. Yakni: pendekatan moral dan sastra (kreatifitas). Harus dilihat kalau ada konektivitas semangat. Kita tak bisa mengatakan dan melepaskan semangat kaum bohemian dan penjelmaan dalam sosok Chairil Anwar, sebagaimana membaca Pramoedya Ananta Toer dengan melepaskan Maxim Gorki dan semangat Realisme.

Saya sepakat kalau hal ini mestilah dibicarakan dengan pihak yang terkait, penulis, dan penanggung jawab majalah (LAPAR Sulsel).

Karena saya yakin kalau majalah Mandat bukan sekadar berakhir pada pertukaran informasi sesama peserta Sekolah Demokrasi Pangkep (SDP) dan alumni saja. Lebih dari itu, saya kira, majalah Mandat adalah bukti progres dari pemberian ruang bagi siapa saja yang hendak menuliskan kesaksiannya sebagaimana taglinenya. Kontekstualisasi Demokrasi.

Terakhir, Goenawan Moehammad juga mengingatkan kalau kesalahan terbesar dalam penulisan puisi, ialah terletak pada salah ketik. Kecalakaan fatal dalam menulis juga berlaku yang demikian. Termasuk di dalamnya kelupaan, kepura-puraan, kekeliruan, kesombongan, dan tentu saja keteledoran.
_

Catatan:
Polemik ini sudah tuntas, pihak penanggung jawab majalah sudah meminta maaf kepada M Farid W Makkullau, begitupn dengan penulis, M Aris dan Arman Naim telah mengakui keteledorannya, karena lupa menuliskan sumber catatannya.


Komentar

m farid w makkulau mengatakan…
Terima kasih atas tanggapan baliknya dinda,

benar sekali bahwa Siapa pun punya hak untuk menuliskan pengalamannya dan pengamatannya atas ruang publik. Hanya saja jika adinda lebih jeli lagi membaca Mandat yg saya maksudkan tak lebih dari kutipan yg dibolak balik atau dimodifikasi.

Setiap penulis punya gaya menulis dan ketika ada yg mengutipnya tanpa menuliskan sumbernya pasti dia akan dgn sadar mengetahuinya. Tentang Siang dan Barasa, terserahlah kalau adinda pernah menulis ttg hal yg sama dgn mengutip Pelras, tapi saya sanksi kalau Aris dan Arman mengutipnya langsung dari Pelras. Periksa lagi susunan bahasa yg dibolak balik itu, khususnya paragraf terakhir pada tulisan di mandat itu.

ttg sejarah plagiarisme di indonesia, sy kira itu terlalu jauh. Ketua Lapar (pak karim) sdh mengakui dan meminta maaf atas ketelodoran tulisan yg masuk tsb, dan sy sudah pernah ketemu Arman dan mengakuinya. Saya tdk menulis bahwa itu plagiat keseluruhan tetapi lebih merupakan tulisan atas ruang publik yang dimodifikasi dari tulisan yg telah ada sebelumnya.

menuliskan sumber kutipan itu tdk membuat kita rendah sbg penulis, tetapi sebagai bukti kejujuran atas penulisan dan pembacaan. Malahan pembaca akan mengacungkan jempolnya dan mengapresiasi dgn baik. Karena satu hal, tdk ada penulis yg mengetahui segalanya, cuman ketentuannya disebutkan dong sumbernya.

demikian tanggapan saya, salam demokrasi. :)
kamar-bawah mengatakan…
heheheh,,iya Pak Farid,,ini sudah lama sekali, saya kira sudah jelas sewaktu ada postingan di status fb, ke dua penulis sudah mengakuinya,,,terimah kasih daeng sdah singgah di kamar bawah,,,
salam hormat

Postingan Populer